Deden Ramdhan Hadi
14121610670
Tarbiyah/ IPA-Biologi A
IAIN Syekh Nurjati
TERAPI GEN
A. Pendadahuluan
Down Syndrome berasal dari nama seorang
dokter yang pertama kali melaporkan kasus hambatan tumbuh kembang psikomotorik
dan berakibat gangguan mental pada tahun 1866. Dokter tersebut
adalah Dr. John Langdon Down dari Inggris. Sebelumnya kelainan
genetika ini disebut sebagai “Monglismus”, sebab memang penderitanya memiliki
ciri fisik menyerupai ras Mongoloid. Karena berbau rasialis maka nama ini
diganti menjadi Down Syndrome. Terlebih setelah tahun 1959
diketahui bahwa kelainan genetika ini dapat terjadi pada ras mana saja tanpa
membedakan jenis kelamin.
Sejak bayi baru lahir, Down Syndrome bisa
dideteksi bahkan kemajuan teknologi memungkinkan dilakukannya
amniosentesis yaitu pengambilan cairan kandungan untuk memeriksa kromosom janin
bayi.
Berbagai teori telah diajukan untuk menerangkan berbagai kelainan
klinis pada Down Syndrome. Antara lain adanya suatu produk
yang disebut sebagai radikal bebas yang bersifat toksik dalam jaringan.
Pada keadaan normal pun dalam tubuh kita selalu terbentuk radikal
bebas, tapi tubuh manusia normal dapat menetralisirnya. Pada kasus Down
Syndrome karena terjadi ketidakseimbangan enzim tertentu maka terjadi
kelebihan radikal bebas. Penetralannya bisa dibantu dengan pemberian anti
oksidan seperti vitamin E. Sayangnya telah terbukti bahwa pemberian anti
oksidan ini tidak terlalu membantu. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor lain
yang belum kita ketahui.
Sampai saat ini pemicu kelainan kromosom belum bisa diungkap. Dalam
dunia kedokteran, Down Syndrome tidak bisa diobati secara
causatif karena kromosom yang mengalami kelainan itu sudah menyebar ke
seluruh tubuh. Yang bisa dilakukan hanya memberi latihan dan terapi fisioterapi
agar otak dan organ tubuhnya bisa dirangsang berfungsi dengan baik.
Down Syndrome diderita paling sedikit 300
ribu anak di seluruh Indonesia dan 8 juta manusia di seluruh dunia. Satu dari
700 anak yang dilahirkan ke dunia ini memiliki kemungkinan menderita Down
Syndrome. Sebagaimana yang telah banyak diketahui penyakit ini bukan
merupakan penyakit genetik yang diturunkan tetapi disebabkan kromosom 21
memiliki 3 kembaran (copy), berbeda dengan kromosom normal yang hanya memiliki
2 kembaran (Santosa, 2000).
Gambar 1. Triplikasi
Kromosom 21 yang menyebabkan terjadinya Down Syndrome
(Santosa, 2000)
Kesalahan penggandaan tersebut berkorelasi erat dengan umur
wanita saat mengandung. Semakin tua maka semakin besar kemungkinan untuk
mendapatkan anak yang menderita Down Syndrome ini. Kesalahan
penggandaan tersebut menyebabkan munculnya kelambatan mental (biasa disebut Mental
Retardation) yang merupakan ciri utama penderita Down Syndrome.
Selain itu penderita seringkali juga menderita penyakit jantung bawaan, perkembangan
tubuh yang abnormal, dysmorphic, Alzheimer semasa muda, leukemia
tertentu (childhood leukaemia), defisiensi sistem pertahanan tubuh,
serta berbagai problem kesehatan lainnya.
Sebagaimana tertulis dalam QS Al Hajj ayat 5 :
Artinya : ”Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang
kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan
kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah,
kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna
agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami
kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu
sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada
kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu
yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi
sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering,
kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan
suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.
B. PEMBAHASAN
Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif
untuk mengatasi kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita Down
syndrome juga dapat mengalami kemunduran dari sistem penglihatan,
pendengaran maupun kemampuan fisiknya mengingat dan memiliki tonus otot-otot
yang lemah. Dengan demikian penderita harus mendapatkan dukungan maupun
informasi yang cukup serta kemudahan dalam menggunakan sarana atau fasilitas
yang sesuai berkaitan dengan kemunduran perkembangan baik fisik maupun
mentalnya. Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya
defek pada jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih cepat meninggal
dunia akibat adanya kelainan pada jantung
tersebut. Dengan adanya leukemia
akut menyebabkan penderita semakin rentan terkena infeksi, sehingga penderita
ini memerlukan monitoring serta pemberian terapi pencegah infeksi yang akurat.
Salah satu cara untuk menyembuhkan penyakit ini yaiut dengan melakukan
terapi Down Syndrome namun hingga saat ini hanya dilakukan terhadap
gejala yang telah muncul. Terapi konvensional semacam itu tidak akan pernah
mengatasi penderitaan pasien Down Syndrome secara tuntas.
Ketidakseimbangan gen dan ekspresinya akibat triplikasi kromosom 21 akan
terus berlangsung sepanjang hidup pasien. Ketidakseimbangan tersebut akan
menyebabkan kekacauan fungsi produk-produk gen yang sensitif yang kemudian
muncul dalam wujud fenotipik khas Down Syndrome (Santosa, 2000).
Harapan ditaruh ke teknologi
terbaru yang dikenal dengan terapi gen. Terapi gen merupakan pengobatan atau
pencegahan penyakit melalui transfer bahan genetik ke tubuh pasien. Dengan
demikian melalui terapi gen bukan gejala yang diobati tetapi penyebab munculnya
gejala penyakit tersebut. Studi klinis terapi gen pertama kali dilakukan pada
tahun 1990. Kontroversi terhadap terapi gen menjadi mengemuka ketika terjadi
peristiwa kematian pasien setelah menjalani terapi gen pada bulan September
1999 di University of Pennsylvania, Amerika Serikat.
Terlepas dari kegagalan
tersebut, terapi gen merupakan sistem terapi baru yang menjanjikan banyak
harapan. Beberapa pelajaran dan kegagalan-kegagalan yang diperoleh selama
dekade pertama serta pesatnya perkembangan bidang tersebut saat ini membuka
kemungkinan teknologi tersebut akan merevolusi dunia kedokteran di dekade
mendatang. Seluruh uji klinis transfer gen hanya dilakukan terhadap sel-sel
somatik bukan ke sperma atau ovum yang jika dilakukan pasti akan menimbulkan kecaman
dan pelanggaran etika yang dianut saat ini. Transfer gen ke sel somatik dapat
dilakukan melalui dua metode. Melalui pendekatan ex vivo, sel diambil dari
tubuh pasien, direkayasa secara genetik dan dimasukkan kembali ke tubuh pasien.
Keunggulan metode ini adalah transfer gen menjadi lebih efisien dan sel
terekayasa mampu membelah dengan baik dan menghasilkan produk sasaran.
Pada dasarnya, terapi gen adalah teknik memperbaiki gen yang rusak atau
cacat yang bertanggung jawab atas timbulnya penyakit tertentu (Moelyoprawiro,
2005). Edrus (2005) menyatakan bahwa terapi gen merupakan teknologi masa kini
yang membolehkan gen-gen yang rusak diganti dengan gen-gen normal dimana kita
menggunakan vektor untuk menyisipkan DNA yang diingini ke dalam sel dan disuntikkan
ke dalam tubuh. Terapi gen dapat dilakukan secara ex vivo dan in
vivo.
Gambar 2. Dua macam
model proses
terapi gen (Anonymous,
2011)
Langkah-langkah dasar
dari terapi gen meliputi:
·
Gen rusak yang menyebabkan kondisi
tertentu dapat diketahui.
·
Lokasi sel yang terkena dampak
dalam jaringan tubuh atau organ harus diketahui.
·
Sebuah versi kerja gen harus
tersedia.
·
Versi kerja gen tersebut harus
disampaikan ke sel
Masalah saat ini adalah untuk menemukan cara untuk berhasil
‘memberikan’ versi kerja gen. Untuk mulai dengan, sel-sel yang terkena dampak
diambil dari tubuh seseorang dan versi kerja gen adalah baik ‘disambung’ atau
disuntikkan ke dalam sel. Mereka dibiarkan tumbuh di laboratorium dan kemudian
diganti ke orangtersebut.
Salah satu teknik yang menjanjikan adalah dengan menempatkan gen
bekerja di dalam sebuah virus berbahaya, yang telah memiliki sebagian besar gen
sendiri dihapus – itu telah ‘dinonaktifkan’. Sebuah virus yang menyebabkan
penyakit (seperti flu biasa) bekerja dengan menyelipkan ke dalam sel, DNA-nya
mengambil alih dan memaksanya untuk menghasilkan lebih banyak virus. Demikian
pula, virus dinonaktifkan dapat memasukkan sel tertentu dan memberikan gen
bekerja.
Teknik lain melibatkan menggunakan sel induk. Ini adalah sel matang
yang memiliki potensi untuk berkembang menjadi sel-sel dengan fungsi yang
berbeda. Dalam teknik ini, sel-sel induk dimanipulasi di laboratorium untuk
menerima gen baru yang kemudian dapat mengubah perilaku mereka. Sebagai contoh,
gen mungkin dimasukkan ke dalam sel induk yang bisa membuatnya lebih mampu
bertahan kemoterapi. Ini akan menjadi bantuan untuk pasien.
Gambar 3. Proses dari
Terapi Gen
(Anonymous, 2011)
Terapi ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1990 (Roberts, 2004).
Selama ini pendekatan terapi gen yang berkembang adalah menambahkan gen-gen
normal ke dalam sel yang mengalami ketidaknormalan. Pendekatan lain adalah
melenyapkan gen abnormal dengan melakukan rekombinasi homolog. Pendekatan
ketiga adalah mereparasi gen abnormal dengan cara mutasi balik selektif, sedemikian
rupa sehingga akan mengembalikan fungsi gen tersebut. Selain
pendekatan-pendekatan tersebut, ada pendekatan lain untuk terapi gen yaitu
mengendalikan regulasi ekspresi gen abnormal tersebut (Holmes, 2003).
Perkembangan terapi gen yang terkini untuk pengobatan penyakit lebih diarahkan
pada gagasan mencegah diekspresikannya gen-gen yang jeiek atau abnormal (gene
silencing). Untuk tujuan gene silencing atau membungkam ekspresi
gen tersebut, maka penggunaan RNA (RNA therapeutic) lebih dimungkinkan
dari pada penggunaan DNA (Adams, 2005).
Dapat dilihat pada QS Ali Imran 191, dinyatakan bahwa tidak ada yang
diciptakan Allah dengan sia-sia.
Artinya : “Orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa neraka.”
Telah dilaporkan dalam majalah Nature bulan Mei 2001 bahwa RNA dapat
membungkam ekspresi gen dengan efektif (Elbashir, et al., 2001). Gagasan terapi
gen dengan mereparasi mRNA, berarti menggunakan mekanisme regulasi sel itu
sendiri, sehingga efek samping yang merugikan lebih dapat ditekan (Penman,
2002). Cara ini lebih baik dilakukan dari pada mengganti gen yang cacat.
Dengan dapat dipetakannya kromosom 21 baru-baru ini, tentu bukanlah hal
yang mustahil bahwa Down Syndrome dapat diatasi menggunakan terapi gen
yang pada dasarnya adalah perwujudan dari teknologi DNA rekombinan.
C. PENUTUP
1. KESIMPULAN
Berdasarkan isi dapat
ditarik kesimpulan:
1.
Down Syndrome bukan merupakan penyakit genetik yang diturunkan tetapi disebabkan
kromosom 21 memiliki 3 kembaran (copy), berbeda dengan kromosom normal yang
hanya memiliki 2 kembaran. Dalam dunia kedokteran, Down Syndrome
tidak bisa diobati secara causatif namun dengan dapat dipetakannya
kromosom 21 baru-baru ini, tentu bukanlah hal yang mustahil bahwa Down
Syndrome dapat diatasi menggunakan terapi gen yang pada dasarnya adalah
perwujudan dari teknologi DNA rekombinan.
2.
Terapi gen merupakan pengobatan
atau pencegahan penyakit melalui transfer bahan genetik ke tubuh pasien. Dengan
demikian melalui terapi gen bukan gejala yang diobati tetapi penyebab munculnya
gejala penyakit tersebut.
2.
Opini
Dari materi yang disampaikan kelompok kami mempunyai opini, antara lain:
1.
Bioteknologi secara
umum berarti meningkatkan kualitas suatu organisme melalui aplikasi teknologi.
2.
Suatu kemajuan teknologi dapat
dimanfaatkan untuk perkembangan zaman.
Namun, sebaiknya kemajuan teknologi
juga harus memperhatikan dan mempertimbangkan keseimbangan ekologi lingkungan.
3.
Pesatnya pengembangan
dan penerapan bioteknologi adalah suatu hal sangat positif, akan tetapi dalam
mewujudkannya hendaknya dikaji secara mendetail, sehingga tidak tercipta
kondisi yang "over-optimistic".
DAFTAR PUSTAKA
Adams. 2005. RNA theurapeutic Center Clinical Trials. The Journal Scientist Molecular Biology Reviews. [diakses 10 November 2012]
Anonymous. 2011. Basic Process of Gene Therapy. http://www.genetherapynet.com/basic-process. [diakses 10 November 2012]
Anonymous. 2011. Gene Therapy. https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgpiejsCgsClbU-EElvW5W4oGqK3zn5tVbClp14E2OUnkxkhcwojQeiUmRDh5dzzttnYmQ9rdhDlo9lPyAywmPLkx6NRpi1Hvojb_kwt_yX3_6Ensn5nLhMeW3S7O-HvXA9cpZeBynmlZI/s1600/Picture3.jpg [diakses 9 November 2012]
Anonymous. 2011. Gene Therapy. http://www.beltina.org/pics/gene_therapy.jpg [diakses 13 Januari 2012]
D.A, Santosa. 2000. Misteri Kromosom 21 Terungkap. Jakarta:Media Indonesia. [diakses 11 November 2012]
Edrus. 2005. Pengenalan Teknologi Rekombinan. http://www.edutraining.cc/pendidikan/semester2/Teknologi.htm [diakses 9 November 2012]
Elbashir, et al. 2001. Duplexes of 21-nucleotide RNAsmediate RNA interference in cultured mammalian cells (Edisi Terjemahan)http://www.newscientist.com [diakses 10 November 2012]
Holmes. 2003. Gene Therapy May Switch Off’ Huntington’s (Edisi Terjemahan). [diakses 13 November 2012]
Moelyoprawiro. 2005. Peran Biologi dalam Kesehatan Manusia. Disampaikan dalam Seminar Nasional Kongres Biologi XIII. Yogyakarta : UGM.
Penman. 2002. Subtle Gene Therapy Tackles Blood Disorder. http://www.newscientist.com [diakses 12 November 2012]
Roberts. 2004. Gene therapy’s Fall and Rise Again (Edisi terjemahan). The Scientist 18 : [diakses 12 November 2012]
Ainsworth-Bettor - New York, NY | JCMH Hub
BalasHapusBedding and dining options for guests 춘천 출장안마 at 오산 출장안마 the casino. Includes catering, a wedding cake, a pancake, and 제천 출장샵 a 통영 출장마사지 terrace. 포항 출장안마